Skip to main content

Mengasah Imajinasi Dengan Membuat Karya Sastra

 Mengasah Imajinasi Dengan Membuat Karya Sastra


Hari ke 37,
Pagi ini saya memulai aktivitas dengan bangun pukul 05.00, ketika udara masih segar dan suasana sekitar masih tenang. Setelah menunaikan ibadah Subuh, saya meluangkan waktu sejenak untuk menenangkan pikiran sambil menata rencana kegiatan hari ini. Rutinitas pagi saya lanjutkan dengan mandi untuk menyegarkan tubuh, kemudian sarapan sederhana berupa nasi, telur dadar, dan teh hangat. Bagi saya, kegiatan ini bukan hanya sekadar rutinitas, melainkan langkah awal untuk membangun energi dan semangat sebelum berangkat ke tempat Praktik Kerja Lapangan (PKL).

Sekitar pukul 07.00, saya berangkat bersama rekan saya, Daniel, menggunakan motor menuju lokasi PKL. Perjalanan di pagi hari selalu menjadi momen transisi yang menyenangkan antara suasana rumah yang tenang dengan dunia kerja yang penuh dinamika. Kami tiba di lokasi sekitar pukul 07.45 dan langsung disambut suasana hangat di laboratorium komputer. Sebelum memulai pekerjaan, kami melaksanakan kegiatan rutin piket pagi. Kegiatan ini kami jalani dengan penuh tanggung jawab, karena selain menjaga kebersihan lingkungan, hal ini juga melatih kami untuk bekerja dalam tim serta menumbuhkan disiplin dan rasa memiliki terhadap tempat kerja.

Pukul 08.30 kami menerima arahan dari pembimbing untuk melanjutkan pekerjaan yang telah dijadwalkan, yaitu Memgikuti perlombaan membuat surat cinta, puisi dan cerpen. Tugas ini menuntut ketelitian, karena setiap elemen seperti struktur tulisan, tautan, dan tampilan harus diperhatikan dengan saksama agar hasilnya maksimal. Aktivitas ini berlangsung hingga menjelang siang dan mengajarkan kami pentingnya kesabaran serta fokus dalam pekerjaan digital yang memerlukan detail tinggi.

Pukul 12.00 kami beristirahat sejenak untuk makan siang dan mengembalikan energi. Setelah istirahat selama satu jam, kami kembali ke laboratorium pada pukul 13.00 untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai. Dengan semangat baru, kami memperbaiki bagian-bagian yang masih kurang dan menata ulang halaman agar tampil lebih rapi dan informatif.

Menjelang pukul 16.00, kami menutup kegiatan dengan membersihkan area kerja serta melakukan evaluasi ringan terhadap hasil pekerjaan hari ini. Secara keseluruhan, hari ini memberikan pelajaran berharga tentang konsistensi, tanggung jawab, dan kerja sama tim. Pengalaman di hari ke-37 ini semakin memperkaya wawasan saya tentang dunia kerja, khususnya dalam bidang teknologi informasi dan manajemen konten digital.

Berikut materi mengenai Surat cinta, Puisi dan Cerpen:

Surat Cinta

Surat cinta adalah ruang paling jujur bagi perasaan. Ia lahir dari kebutuhan untuk mengatakan sesuatu yang tak sanggup ditahan lama-lama di dada. Dalam sebuah surat cinta yang baik, biasanya ada sapaan yang hangat, pengakuan yang jelas, satu dua kenangan yang diangkat sebagai jangkar emosi, dan penutup yang menyisakan getar. Nada surat bisa lembut, riang, atau getir yang penting konsisten dengan kepribadian penulisnya. Pilihan kata sebaiknya konkret dan berakar pada pengalaman bukan “aku merindukanmu,” melainkan “aku menunggu bunyi langkahmu di teras pukul tujuh.” Detail seperti itu membuat perasaan terasa nyata. Surat cinta juga butuh ritme: kalimat panjang untuk mengalun, kalimat pendek untuk menancap. Hindari berlebihan memuji sampai terasa tak wajar; keindahan justru muncul dari keseimbangan antara kerentanan dan ketenangan. Etikanya sederhana, tulis untuk memberi tahu, bukan memaksa dibalas jaga privasi dan terimalah bahwa setelah dikirim, perasaanmu telah kau percayakan pada kebebasan orang lain. Jika perlu, biarkan jeda tulis, simpan semalam, lalu baca ulang dengan kepala dingin sebelum mengirim.

Berikut hasil punya saya :


Aku dan Diriku, Permintaan Maaf antara Kita Berdua

Ditujukan kepada: Diriku sendiri
Masalah Diantara Kita:
Karena hanya aku yang tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Karena hanya aku yang tahu betapa keras aku berusaha, betapa sering aku jatuh, dan betapa gigih aku berusaha mencintai diriku sendiri meski sering terlambat.

Kadang aku menulis bukan karena rindu,
tapi karena takut lupa bagaimana rasanya menjadi diriku sendiri.
Malam ini, di antara suara jam yang malas berdetak dan layar ponsel yang terlalu terang,
aku ingin bicara padamu, pada diriku dimasa lalu.
entahlah, mungkin kita berdua adalah cermin yang saling menatap,
tapi jarang benar-benar melihat.

Aku ingin mulai dengan kata maaf.
Maaf untuk semua kali aku memilih diam padahal hatiku berteriak.
Maaf karena dulu aku mengira menahan tangis adalah tanda kuat,
padahal yang kuat justru mereka yang berani menangis dan tetap melangkah esok harinya.
Aku tahu kamu lelah dulu.
Aku tahu kamu sering pura-pura baik-baik aja karena takut orang bosan mendengar kesedihanmu.
Tapi sungguh, kamu nggak harus selalu jadi “kuat”.
Kadang, bertahan pun sudah cukup heroik.

Kamu ingat, kan, masa-masa itu?
Waktu dunia terasa sempit, dan kamu merasa tak punya siapa pun untuk bersandar.
Kamu menulis di catatan ponsel, berulang kali,
“aku ingin hilang sebentar aja” bukan karena kamu benci hidup,
tapi karena kamu cuma pengen berhenti capek.
Dan aku ingin bilang sekarang: terima kasih,
karena kamu nggak benar-benar pergi.
Karena kamu tetap memilih hidup, meski dunia nggak selalu lembut.
Aku bangga banget sama kamu, sumpah.

Diriku yang sekarang ini… juga tidak sempurna.
Masih sering merasa kurang, masih sering insecure waktu lihat orang lain seolah melangkah lebih cepat.
Tapi bedanya, kini kamu udah belajar bahwa hidup bukan lomba,
dan hati manusia nggak bisa diukur dengan pencapaian yang bisa diunggah.
Kamu mulai belajar menyayangi dirimu pelan-pelan,
dengan cara sederhana minum air cukup, tidur lebih awal,
dan berhenti menyalahkan diri sendiri untuk hal-hal yang dulu nggak kamu tahu caranya.

Aku terharu ngeliat kamu yang sekarang lebih sabar,
nggak marah sama diri sendiri waktu gagal,
malah ngebujuk diri pelan-pelan,
“nggak apa-apa, nanti kita coba lagi ya.”
Kalimat itu lembut banget.
Dulu kamu nggak punya kalimat sehangat itu untuk dirimu sendiri, kan?

Kadang aku merasa kita ini seperti dua versi dari lagu yang sama
versi lamanya sendu, tapi jujur,
versi barunya cerah, tapi masih menyimpan getar dari nada lama.
Dan itu nggak apa-apa.
Semua luka yang pernah kamu lewati nggak harus hilang;
beberapa memang ditakdirkan untuk tumbuh menjadi taman doa.

Aku minta maaf lagi, untuk semua kalimat jahat yang pernah kamu ucap ke dirimu sendiri:
“aku bodoh.”
“aku gagal.”
“aku nggak pantas.”
Kata-kata itu masih menggema di dalam dada sampai hari ini,
tapi sekarang aku ingin menggantinya dengan sesuatu yang lebih lembut:
“aku sedang belajar.”
“aku berproses.”
“aku cukup, bahkan dalam kekurangan.”
Kamu boleh rehat tanpa merasa bersalah.
Kamu boleh bahagia tanpa harus jadi sempurna dulu.

Kadang aku berpikir
andaikan waktu bisa diulang, aku ingin memeluk diriku yang dulu.
Bukan untuk menasihati,
tapi untuk bilang, “aku ngerti.”
Aku ngerti kenapa kamu takut,
aku ngerti kenapa kamu terlalu cepat menyerah waktu itu.
Tapi lihatlah kita sekarang.
Kamu masih di sini,
masih menulis, masih bernafas,
masih punya hati yang mau mencintai lagi meski sudah berkali-kali patah.
Itu keajaiban yang nggak semua orang punya.

Diri yang dulu dan diri yang kini,
mungkin kita nggak akan pernah benar-benar “damai”.
Tapi aku ingin kita berdamai dalam caranya yang manusiawi
dengan tertawa di antara bekas luka,
dengan memaafkan tanpa melupakan,
dengan terus hidup tanpa menuntut diri jadi sempurna.
Karena kadang cinta paling tulus adalah saat kita berhenti menghukum diri sendiri.
Kita belajar bahwa menjadi manusia itu rumit, tapi tetap indah.

Malam ini aku nggak ingin menutup surat ini dengan tanda tanya,
tapi dengan harapan:
semoga kamu selalu punya keberanian untuk mulai lagi.
Kalau besok kamu sedih lagi, nggak apa-apa.
Kalau kamu ngerasa gagal lagi, nggak masalah.
Yang penting, jangan lupa genggam tanganmu sendiri dan bilang:
“aku masih di sini, dan aku akan tetap mencintaiku, sesulit apa pun hari ini.”

Terima kasih, untuk bertahan sejauh ini.
Terima kasih sudah tumbuh, meski seringnya sakit.
Dan maaf, karena butuh waktu lama untuk aku sadar
bahwa kamu…
layak dicintai bahkan tanpa alasan apa pun.

Puisi

Puisi adalah bentuk paling padat dari emosi. Ia bekerja dengan diksi yang presisi, citraan yang tajam, dan musik yang tidak selalu bersuara, tetapi terasa di napas pembaca. Puisi yang kuat tidak menyebut “sedih,” melainkan menampilkan kesedihan lewat benda, gerak, dan suasana cangkir teh yang mendingin, baju yang tak jadi dilipat, lampu koridor yang kedip-kedip. Rima dan ritme boleh hadir, tetapi tak wajib yang utama adalah konsistensi bunyi dan jeda. Perhatikan baris dan larik di mana kau memutus kalimat akan menentukan cara pembaca bernapas. Metafora perlu segar dan fungsional jangan memilih kiasan hanya karena indah, tetapi karena ia mengantar makna ke tempat yang lebih dalam. Untuk menulis, mulailah dari satu gambar yang mengganggu pikiranmu, lalu biarkan kata-kata mengitari gambar itu seperti orbit. Draf pertama biarkan liar; draf kedua adalah saat memangkas, mengganti kata umum dengan kata yang bertekstur, menghapus baris yang hanya mengulang. Sebait contoh pendek:
“pukul tujuh, halaman menampung hujan/namamu jatuh pelan di bibir gelas/tak ada yang pecah/kecuali rencana pulang.”

Berikut contoh punya saya : 


Aku yang Pernah Lebih Baik

Aku menatap cermin seperti membaca pesan yang tak sempat dikirim
Ada bayangan samar dari masa lalu yang tersenyum getir
Ia menatapku seolah ingin bertanya
“Kemana perginya anak yang dulu percaya pada cahaya?”

Dulu langkahku ringan seperti doa Ibu di subuh hari
Kini setiap jejak terasa berat, menumpuk di dada sendiri
Aku menukar ketulusan dengan gengsi
Menjual waktu demi validasi yang cepat basi

Hatiku yang dulu bening kini penuh notifikasi
Tentang siapa yang lebih bahagia, lebih sukses, lebih bersinar
Padahal aku hanya ingin menjadi tenang
Seperti langit sore yang tak butuh alasan untuk indah

Kadang aku membuka chat lama dengan diriku sendiri
Membaca janji-janji kecil yang kini terdengar seperti satire
“Jangan berubah jadi orang asing,” tulisku dulu
Dan lihatlah, aku menepatinya aku benar-benar menjadi asing.

Aku rindu pada keberanian yang tak butuh tepuk tangan
Rindu pada tawa yang jujur tanpa filter keindahan
Rindu pada hati yang belum mengenal takut kehilangan
Kepada diriku yang dulu, maaf, aku sempat hilang.

Kini aku belajar pelan
Bahwa memaafkan diri sendiri bukan soal melupakan dosa
Tapi tentang berani menatap luka dan tetap berkata
"Aku masih layak dicintai."

Cerpen

Cerpen adalah perjalanan singkat yang tetap utuh. Dalam ruang yang terbatas, cerpen menghadirkan tokoh yang punya keinginan, rintangan yang menghalangi, dan pilihan yang memaksa ia berubah meski setipis goresan. Pembuka yang efektif tidak berlama-lama berkenalan ia menaruh pembaca langsung di situasi yang memantik rasa ingin tahu sebuah telepon yang tak diangkat, koper yang sudah setengah terisi, kursi kosong di warung langganan. Alur bisa maju, mundur, atau berkelok, tetapi tiap adegan harus melayani tujuan memperdalam konflik atau mengungkap sisi tokoh. Dialog perlu terasa hidup, tidak hanya bertukar informasi, melainkan memperlihatkan watak dan ketegangan. “Show, don’t tell” bukan larangan mutlak cerpen yang baik tahu kapan menampilkan adegan, kapan merangkum agar cerita tetap bergerak. Latar memberi atmosfer, bukan sekadar dekorasi bau tanah setelah hujan bisa menenangkan tokoh, atau justru menyalakan memori yang ia hindari. Sudut pandang menentukan kedekatan emosi orang pertama memberi keintiman, orang ketiga yang terbatas memberi ruang observasi, orang ketiga mahatahu menawarkan keluasan, tapi menuntut kendali ketat. Akhir cerita tak selalu harus mengejutkan; yang penting terasa tak terhindarkan begitu selesai, pembaca merasa, “memang seharusnya begini,” walau tak menebaknya sejak awal. Bila ingin mencoba, mulailah dari satu momen terpilih misalnya, detik ketika lampu kereta padam di terowongan lalu tanyakan siapa yang paling terusik oleh kejadian sesederhana ini, apa yang ia inginkan, dan apa yang berubah saat lampu menyala lagi.

Berikut contoh punya saya :


Tidak pernah terpikir olehku untuk berubah sejauh ini di masa lalu

Hujan turun kecil seperti bunyi jarum yang pelan menyentuh kaca. Di kamar yang dindingnya tipis aku duduk menatap layar ponsel yang memantulkan wajahku sendiri. Ada bayangan yang selalu terasa asing di sana. Dulu aku hafal garis senyum yang ringan. Kini yang muncul hanyalah tatapan mata yang seperti kehabisan mimpi. Aku membuka folder foto lama. Ada gambar sepatu putih yang dulu sering kupakai ke lapangan. Ada video pendek waktu aku tertawa lepas di antara teman-teman sebaya. Di sudut layar ada tanggal yang menua. Jarak terasa seperti tali yang diam-diam mengikat dua masa yang tak lagi saling sapa.

Aku mengetik pesan untuk diriku yang dulu lewat aplikasi catatan.
Aku menulis begini.
Hai kamu yang percaya pada pagi. Maaf. Aku berubah jadi versi yang kamu tidak bayangkan.
Lalu kututup lagi tanpa menekan simpan.
Kebiasaanku adalah menyusun kalimat yang rapi untuk kemudian kubiarkan menguap. Seperti doa yang malu-malu meminjam udara.

Pernah ada hari saat aku masih pulang sebelum senja. Aku menyapa tetangga sambil menenteng roti hangat. Ibu menerima roti itu dan tertawa kecil. Katanya aku selalu kebanyakan gula. Lalu ia mengiris roti sedikit demi sedikit. Katanya lagi bahagia memang sebaiknya dinikmati dengan perlahan. Aku selalu mengangguk padanya. Kini kalimat itu mengambang seperti daun di parit yang keruh. Aku mencoba menggapai namun tanganku lebih sering sibuk pada hal lain yang tidak jelas maknanya.

Di kota ini aku belajar menyamar. Aku meniru bahasa orang-orang yang bergegas. Aku memakaikan senyum pada wajahku seperti topeng plastik murahan. Aku mengklik tanda suka di unggahan teman-teman. Aku menekan tombol kirim pada ucapan selamat yang terasa hampa. Kepalaku menghitung hari kerja. Hati menunggu libur yang kian jarang. Pada malam tertentu aku menyalakan video yang berisi musik pengantar tidur. Tetapi suara yang paling ingin kudengar tidak ada. Suara itu adalah diriku sendiri yang dulu. Yang percaya pada keberanian tanpa alasan. Yang memulai dengan niat sederhana agar esok tidak menakutkan.

Aku sering membayangkan bertemu diriku yang lama di stasiun. Aku memegang ponsel. Ia memegang buku catatan yang halamannya bergaris. Mata kami saling menatap sebentar lalu ia tersenyum. Ia bertanya apakah aku masih menulis puisi kecil sebelum tidur. Aku menggeleng. Ia bertanya apakah aku masih menanam pohon cabai di pot kecil. Aku tertawa pendek dan menggeleng lagi. Ia menghela napas yang lembut. Lalu ia menunjuk mataku dan berkata sebaiknya jangan mematikan lampu di rumah yang paling penting yaitu hati. Aku ingin memeluknya. Tetapi pengeras suara mengumumkan kereta yang datang dan ia menghilang dalam kerumunan.

Di notifikasi ponsel ada pesan dari seorang kawan lama. Ia mengirim foto kami di tepi sungai. Dulu kami berjanji tidak akan menjadi dewasa yang pelit waktu. Aku membaca pesan itu lalu kututup. Ujung jariku bergetar. Rasanya seperti memegang cangkang tipis yang gampang pecah. Aku menulis balasan yang sangat manis. Setelah itu kuhapus lagi. Setiap kata terasa seperti bumerang yang akan memantul dan menuntut kejujuran. Padahal kejujuran itu yang sedang kehabisan tenaga.

Suatu malam aku menyalakan lampu kamar yang kuning pucat. Di lantai ada tumpukan kartu nama yang tidak lagi kuingat wajah pemiliknya. Di meja ada cangkir teh yang dingin. Di jendela ada bayangan diriku terbelah dua. Aku mencoba memanggil namaku sendiri dalam hati. Ada jeda. Lalu ada rasa yang lebih mirip perpisahan daripada pertemuan. Aku menekan tombol rekam pada perekam suara lalu berkata pelan.
Halo. Apa kabar. Jika aku menghilang dari apa yang paling kucintai tolong cari aku di tempat yang sederhana. Cari di warung tua tempat aku biasa membeli roti. Cari di halaman belakang rumah tempat aku menyiram pot cabai. Cari di buku catatan yang kau simpan di laci meja. Karena kemungkinan besar aku hanya tersesat di antara hal-hal yang dulu membuatku betah.
Aku berhenti. Kureplay suaraku sendiri. Terdengar asing. Namun justru di situlah aku tahu aku masih bisa kembali.

Besok paginya aku berjalan tanpa tujuan. Hujan sisa semalam meninggalkan lendut yang licin di trotoar. Di bawah atap toko aku bertemu pedagang buku bekas. Tanganku menemukan buku yang sangat mirip dengan milikku dahulu. Sampulnya retak. Ada nama orang lain di halaman depan. Tetapi di halaman tengah ada baris puisi yang akrab. Beberapa kata disorot dengan stabilo. Ada kalimat yang menampar lembut pipiku.

Cinta pada diri sendiri tidak selalu manis
Ia sering tampil sebagai teguran yang pelan namun tegas.

Aku menutup buku itu lalu membelinya. Di jalan pulang aku haus. Aku berhenti di kios kecil dan memesan minuman yang dingin. Saat menunggu aku membuka aplikasi pesanku sendiri. Di sana ada arsip yang jarang kusentuh. Draft yang katanya belum siap untuk hidup. Aku membaca satu per satu. Ada potongan curhat yang malu. Ada doa yang pendek. Ada kalimat yang seperti menawar diri kepada langit. Hatiku menghangat. Di antara kata yang tumpang tindih aku menemukan kehadiran yang selama ini kusepelekan. Diriku yang ingin pulang.

Sore hari aku memutuskan merapikan kamar. Aku menggeser lemari kecil. Di belakangnya ada kotak sepatu yang terlupa. Di dalamnya ada foto lama yang tercetak dengan kualitas seadanya. Aku melihat wajah yang jernih. Ada kilau yang bersahaja. Aku menempelkan foto itu di dinding dengan selotip. Lalu aku menulis pada kertas kecil. Mari ngobrol. Mari pelan. Salah tidak apa. Kita belajar lagi. Kertas itu kutaruh di samping cermin.

Malam datang dengan hujan yang lebih rintik. Aku memasak mie dan menambahkan potongan cabai rawit. Aromanya mengangkat kenangan yang menunda tidur. Aku menyalakan ponsel. Kubuka percakapan dengan Ibu yang sudah lama tidak kujamah. Ada beberapa pesan yang tak kubaca dari bulan-bulan sebelum perpisahan paling sunyi. Aku membuka satu. Isinya pendek. Ibu bilang jangan mudah takut pada ribut dunia. Jika lelah pulang sebentar. Minum air hangat. Ia menambahkan doa yang sederhana. Aku memejamkan mata. Air hangat seperti mengalir dari teks itu. Aku merasa disentuh di dahi.

Sebelum tidur aku menulis pada aplikasi catatan.
Akan kucoba untuk tidak memutus jarak pada hal-hal yang membuatku manusia. Besok akan kuucapkan terima kasih pada tubuh yang sudah menggendong lelah.
Lalu kurapikan tempat tidur. Kutarik selimut hingga menutupi bahu. Ponsel kutaruh menghadap ke bawah. Malam tidak lagi terasa seperti jurang. Lebih seperti halaman buku yang menunggu ditulis ulang.

Keesokan harinya aku berjalan ke taman kota. Orang-orang berlari kecil. Ada yang mengajak anjing jalan-jalan. Ada yang duduk menatap danau buatan. Aku duduk di bangku. Kuingat masa sekolah saat aku pernah kalah lomba pidato. Aku tidak sedih. Aku justru tertawa bersama teman-teman. Kami membeli es lilin dan mengakhiri siang dengan cerita yang tidak penting namun hangat. Rasa itu datang lagi. Hangat yang tidak minta bukti. Aku menatap langit yang cerah setelah hujan. Ada awan yang mekar seperti bunga kapas.

Kufoto langit lalu kutulis caption singkat.
Tidak semua perubahan adalah kemajuan. Namun setiap penyesalan dapat dijadikan pelajaran.
Kukirim ke lingkaran kecil teman dekat. Hanya beberapa yang melihat. Ada balasan dari Rara yang dulu sering membantuku latihan pidato. Ia menulis singkat. Kamu baik-baik ya. Aku membalas. Sedang belajar. Lalu kututup aplikasi. Ada sunyi yang tidak mengganggu dalam dada.

Sore menjelang malam aku kembali ke kamar. Kutatap foto lamaku di dinding. Aku berkata pelan pada wajah di foto itu. Terima kasih sudah pernah bermimpi untukku. Aku mungkin menyimpang terlalu jauh. Namun aku akan berjalan pulang. Mungkin jalannya memutar. Tidak apa. Kaki ini masih bisa melangkah. Hati masih bisa diajak bicara jika aku mau duduk lebih lama.

Aku membuka dokumen kosong di laptop. Kutarik napas panjang. Kutulis hal-hal kecil yang ingin kulakukan. Menyiram tanaman di teras. Mengirim pesan pada kawan lama. Menata ulang ransel yang selama ini terasa seperti beban. Menggunakan sepatu lama yang masih nyaman. Membaca satu bab buku setiap malam. Menghafal satu doa pendek agar hati tidak mudah padam. Daftar itu sederhana. Tetapi ketika selesai kutulis aku merasa sedang membuka jendela. Udara masuk. Bau hujan yang tinggal sedikit ikut terbawa.

Pada jam yang biasanya kugunakan untuk menunda, aku justru menekan tombol panggil di ponsel. Kupilih satu nama. Seorang sahabat yang dulu menyimpan fotoku ketika rambutku masih acak-acakan dan aku suka tertawa sampai menangis. Ia mengangkat. Suaranya masih sama. Kami saling bertanya kabar. Tidak ada teater kepura-puraan. Kami bercerita tentang hal-hal kecil yang justru membuat hidup terasa nyata. Ia bilang ia juga pernah menjauh dari dirinya sendiri. Lalu pada suatu sore ia memutuskan untuk kembali. Caranya sederhana. Ia memberi makan kucing liar di depan rumah dan menyapa tetangga yang jarang tersenyum. Setelah menutup telepon aku duduk lama. Hati terasa seperti gorengan yang baru diangkat dari wajan. Hangat. Renyah. Bernapas.

Malam itu aku menuliskan kalimat yang ingin kusimpan di dalam dompet.
Bila hari-hari terasa berat kembalilah pada yang sederhana. Air putih. Nafas yang dihitung pelan. Nama-nama yang kau sayangi.
Kuketik lalu kucetak lewat printer kecil yang jarang kupakai. Kertasnya kecil. Aku menyelipkannya di balik kartu identitas. Setiap kali akan keluar rumah aku ingin mengingat diriku sendiri. Bahwa ia pernah baik. Bahwa ia masih bisa baik.

Di antara penyesalan yang tak henti datang aku memilih satu jalan. Aku akan mengakuinya tanpa menenggelamkan diriku. Aku akan menyentuh luka tanpa menggali terlalu dalam. Aku akan menjemur hati pada matahari pagi agar tidak berjamur oleh marah. Aku percaya kesalahan tidak harus menjadi alamat tinggal. Ia cukup menjadi rambu agar esok tidak tersesat lagi. 

Suatu saat aku mungkin akan kembali ke desa. Aku akan mengetuk pintu rumah yang kini dijaga angin. Aku akan menyapu halaman. Aku akan menanam cabai di pot baru. Aku akan merapikan dapur. Aku akan mengucapkan terima kasih pada waktu yang pernah memberiku ruang untuk berubah meski jalannya bengkok. Bila Ibu masih bisa melihat dari tempat yang paling tenang aku ingin ia tahu bahwa aku sedang belajar pulang. Bukan ke rumah yang berdinding bata. Melainkan ke rumah yang sejak dulu ada di dadaku.

Aku duduk di depan jendela. Lampu kota berkedip seperti bintang yang ingin ikut turun. Dalam hati aku mengucap kalimat yang pendek namun jernih.
Aku maafkan diriku hari ini. Besok akan kucoba lagi.
Sambil menutup tirai aku tersenyum kecil. Tidak lebar. Namun cukup untuk membuat udara bergerak. Ada nada yang berbeda di kamar ini. Seperti sisa hujan yang memberi bau tanah yang menenangkan. Seperti langkah-langkah kecil yang menyambung jalan setapak menuju masa depan yang tidak lagi menakutkan. 

Kepada diriku yang dulu aku menyusun sebuah pesan. Kutulis rapi agar ia mudah membacanya jika angin sempat mengantarkan.
Aku belum menjadi hebat. Aku masih kerap lelah. Namun aku bersedia memperbaiki yang bisa diperbaiki. Aku akan menjaga hal-hal yang setia menjaga. Aku akan kembali pada niat yang sederhana kebahagiaan yang tidak perlu gaduh.

Aku menutup laptop. Ponsel kutaruh di meja. Hati kubiarkan terbuka sedikit seperti jendela yang menunggu pagi. Aku tidak lagi memaki perubahan. Aku tidak memujanya juga. Aku memilih menuntunnya agar kembali mengingat asal muasalnya. Perjalanan ini mungkin panjang. Tetapi aku sudah menapakkan kaki. Dan ketika hujan turun di kaca aku tahu aku tidak sepenuhnya sendiri. Ada diriku yang lama berjalan di samping. Ada diriku yang kini belajar memegang tangan sendiri agar tidak tercecer oleh malam. 

Pada akhirnya aku mengerti sesuatu yang mungkin sederhana namun bertahan lama.
Kesedihan tidak selalu meminta obat. Kadang ia hanya meminta tempat duduk yang lembut.
Dan aku menyiapkan kursi itu di dalam diriku sendiri.

Pada akhirnya, ketiganya surat cinta, puisi, cerpen adalah cara berbeda untuk menyentuh pusat yang sama, perasaan manusia yang ingin dikenali. Surat cinta menyasar satu hati dengan kejujuran personal, puisi memadatkan dunia menjadi gema yang bisa dibaca ulang, cerpen menuntun kita berjalan sebentar di kehidupan yang bukan milik kita. Bila kau menulis, pilih saja pintu yang paling memanggilmu hari ini. Sisanya, serahkan pada kata-kata yang kau rawat dengan perhatian.

Baik, segitu saja materi saya untuk hari ini. Terimakasih kepada para pembaca yang telah menyempatkan waktunya membaca blog saya. Mohon maaf apabila ada salah kata dan kurangnya penjelasan. saya pamit undur diri sampai bertemu di blog saya yang lainnya.
Azash.

Comments

Popular posts from this blog

Institut Sains dan Teknologi Nasional

PENGALAMAN PKL DI ISTN Perkenalkan nama saya Mustafidh Rafan Ahyan, saya kelas XII TJKT 2 dari SMK Yadika 12. Di blog ini saya ingin menceritakan pengalaman saya semasa PKL di ISTN. Namun, sebelum itu ISTN itu apa si? Institut Sains dan Teknologi (ISTN)  Institut Sains dan Teknologi ISTN berdiri sejak 1950, ISTN merupakan salah satu perguruan tinggi swasta tertua di Indonesia. Dengan visinya yaitu, Center of Excellence dalam pendidikan tinggi sains dan teknologi yang kreatif, inovatif, unggul, dan berjiwa pelopor. ISTN menghasilkan lulusan yang pancasilais, kompeten, dan berkarakter tangguh, serta adaptif terhadap perkembangan teknologi dan perubahan zaman. Ketika masih kelas 11, saya di beritahu oleh pengurus pkl dari pihak sekolah, bahwa ketika pkl nantinya saya akan ditempatkan di Institut Sains dan Teknologi atau jika di singkat menjadi ISTN. Awalnya saya ketika saya diberitahu bahwa saya akan di tempatkan di ISTN, saya kebingungan karna saya kurang mengetahui mengenai kampus t...

Ahli HTML Dalam Sehari

  Ahli HTML Dalam Sehari Kembali lagi bersama saya, Mustafidh Rafan Ahyan. Hari ini hari ke dua saya PKL di ISTN. Saya akan menceritakan sedikit aktivitas saya PKL hari ini. Hari ini saya belajar cara menceritakan keseharian masing-masing, lalu ditulis ke dalam Notepad++, setelah itu membuat Web dan cerita tersebut dimasukkan kedalam web lalu dirapihkan dengan menggunakan tailwind agar ketika melihat web tersebut dari handphone, tampilannya tidak berantakan. Sebelum itu Tailwind itu apasih? Notepad++ itu gunanya apasih? kok buat web pake Notepad++, emang nyambung sama HTML? HTML HTML, atau HyperText Markup Language, adalah bahasa markup standar yang digunakan untuk membuat dan merancang halaman web. Ini bukan bahasa pemrograman, melainkan bahasa yang memberikan struktur dan konten pada halaman web, memungkinkan teks, gambar, video, dan elemen lainnya ditampilkan di browser. (Berikut perbedaan HTML dengan CSS atau Javascript) Tailwind CSS Tailwind CSS adalah framework CSS yang bersi...

Analisis SWOT Dan Peta Strategi untuk Sekolah Unggul

 Analisis SWOT Dan Peta Strategi untuk Sekolah Unggul Halo kawan-kawan, kembali lagi bersama saya, Mustafidh Rafan Ahyan. Hari ini adalah hari ke lima saya PKL di ISTN. Kali ini pembelajaran kami cukup menarik karena membahas tentang SWOT. Seperti biasa, saya melaksanakan kegiatan PKL saya di ISTN dimulai dengan Piket terlebih dahulu di masing-masing ruangan. Kali ini saya kebagian tugas menyapu lantai lagi tetapi di ruangan A bukan di ruang B seperti kemarin. Setelah menyapu kami pun duduk di ruangan B sambil menunggu Pak Riadi sampai. Ternyata Pak Riadi sedang ada tugas lain, dan belum bisa hadir untuk memberikan bimbingan pada jam pagi. Akhirnya Pak Riadi memberikan tugas kepada kami untuk mempelajari mengenai SWOT. Setelah memahami materi mengenai SWOT, kami pun diberi tugas untuk menganalisis SWOT dari sebuah sekolah dan universitas. (Proses Pembelajaran) (Proses Materi) (Pada saat istirahat) Tetapi sebelumnya, SWOT itu apasi? dan guanya untuk sekolah dan universitas apa? mari...